Kisah Syeikh Burhanuddin Tiba di Singkil Aceh (3)

  • Whatsapp
Herri Firmansyah Khalipah XV Syekh Burhanuddin foto bersama dengan Abdul Wahid Khalipah VII Syekh Kuala Abfur Rauf Singkili. Dipemakaman Syekh Abdur Rauf Kuala, Aceh.

Pakiah Pono, Datuak Maruhun Panjang dari Padang Gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah akhirnya tiba di Singkil, mereka langsung menemui Syeikh Abdurrauf di kediamanya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan mereka berlima.

Awal mula yang menemui Syeikh Abdurrauf adalah sahabat pakiah Pono yang berempat namun mereka mengatakan kedatangan mereka berjumlah lima orang maka menyusul muncul pakiah pono yang kakinya cacat kecil sebelah akibat peristiwa masa kecil.

Melihat kedatangan pakiah Pono dengan sembah sujud berbudi Syeikh Abdurrauf teringat akan pituah gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang nantinya akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajarannya untuk dikembangkan dari pesisir Aceh ke selatan dimana yang satunya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.

Maka tanpa ragu sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid dan di persilahkan masuk ke surau mengambil tempat untuk tinggal.

Alangkah gembiranya mereka kerena mendapat restu belajar dan sambil berlari mereka berebutan mengambil lokasi dimana keempat orang tersebut berebut mengambil lokasi ditiap sudut sementara si pakiah Pono tenang tidak berebut tempat sehingga dia tidak kebagian lokasi.

Melihat prilaku pakiah Pono yang bersahaja menimbulkan kagum dari sang Syeikh dan akhirnya si pakiah Pono di anjurkan tinggal di rumahnya saja.

Ma’rifat berguru:

“Murid laksana mayat ditangan yang memandikan”

Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan mudah dipahami pakiah Pono, apalagi pakiah Pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.

Apalagi latar belakang pakiah Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, anak Tantejo Gurhano seorang Datu sakti di Pariangan sangat berguna diterapkan di pesantren.

Sehingga, Syeik Abdurrauf mempercayakan pakiah Pono untuk  mengurus keperluan pesantren, dari  membuat  dan memelihara ikan di kolam, berkebun dan kesawah juga menggembala sapi kepunyaan sang Syeikh.

Hal itu dia lakukan tanpa membantah, karena pakiah Pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu “murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya” semakin tinggi kepatuhan seorang murid terhadap guru maka semakin tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri.

Sehingga, tanpa disadari terbuka hijab ilmu Allah dan dasar inilah yang memunculkan kejadian-kejadian yang tidak terduga terjadi.

Makanya, tiap orang yang mendalami ilmu tareqat berlainan kelebihan-kelebihan yang dia dapatkan. Karena, ilmu tersebut dia dapatkan hasil dari hijabah yang dilakukan sendiri sehingga walau dengan gurunya sekalipun penampakan kelebihan itu tidak sama.

Secara harfiah Tareqat maknanya adalah Jalan atau cara dimana dalam hal ini dinisbatkan untuk jalan mendekatkan diri pada Allah.

Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku tuju,

Keridha’anMulah yang  aku cari,

Kuharapkan kasih sayangMu,

Serta mengharapkan menjadi hambaMu yang senantiasa cinta dan terdekat dengan Mu.

Untuk mencapai ini dalam ilmu tashauf dibutuhkan seorang mufti atau guru pembimbing yang bisa dipercaya secara lahir maupun bathin. Karena, menyangkut penyerahan kehidupan sang murid secara bulat.

Setelah penyerahan ini sang murid telah menghipnotis dirinya untuk tidak lagi menguasai dirinya secara penuh. maka, disinilah letak terbukanya hijab Allah karena sang murid hidup dalam keadaan sadar dalam ketidak sadaran dalam artian dia sadar sesadar sadarnya disaat raganya berada tidak dalam kekuasaan otak kecilnya yang penuh logika secara penuh melainkan dikuasai oleh otak besar yang memiliki gelombang penglihatan tanpa batas.

Untuk ujian kepatuhan ini Syeikh Abdurrauf menguji siswanya dengan merendahkan martabat sang siswa dengan cara menyuruhnya menyelam di kolam tempat pembuangan tinja ratusan penghuni pesantren.

Dalam ujian ini tidak seorangpun dari siswa pesantren yang mau melakukannya kecuali pakiah Pono.

Dalam hikayat, suatu hari Syeikh Abdurrauf menguji santrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syeikh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.

Dari sekian banyak santri hanya pakiah Pono-lah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang Guru setelah dia samak dan bersihkan.

Maka berbinarlah mata Sang guru karena dia mendapatkan murid yang benar-benar akan bisa mewarisi aliran ilmu yang dia pelajari dan pahami selama ini.

Ketika Syeikh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh pakiah Pono menyusulnya kepulau tersebut.

Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi, pakiah Pono bergegas ke tepi pantai, tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahu-pun untuk bertolak ke pulau.

karena pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datu ternama Pariangan, maka menguasai alam bukanlah sesuatu yang sulit apalagi dengan bekal pengetahuannya tentang sari’at Islam dan pemahamannya akan maksud kandungan Alqur’an sudah sangat mendalam dan jabaran dari ma’rifat asmaul husna sudah dia pecahkan, maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau, Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau  sehingga ini menjadi salah satu kekeramatan pakiah Pono.

Kejadian serupa juga terjadi disaat pakiah Pono sedang membetulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak gadis sang Guru maka dengan seketika pakiah Pono melayang kebawah untuk menyambut kayu tersebut.

Kalau dalam ajaran ayahnya dia menggunakan ilmu Shastra-Shakuna teknik mengatasi gravitasi alam.

Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum shufi adalah disaat pakiah Pono diuji ke imanannya akan godaan wanita.

Saat itu pakiah Pono disuruh menjaga anak gadis sang Guru yang lagi mekar-mekarnya dirumah, sementara Syeikh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan.

Kiranya hormon pertumbuhan pakiah Pono sedang memuncak pula, maka bangkitlah nafsunya melihat sang anak majikan yang sedang ranum menjadi tanggungannya.

Inilah perang sangat dahsyat yang dialami pakiah Pono, perang melawan hawa nafsu sendiri disaat nafsu sedang memuncak.

Untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.

Bagi pakiah Pono dari pada jadi budak nafsu setan dan menjadi orang terbuang didunia dan diakhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.

Meski peristiwa ini disesalkan sang guru, namun itu sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dirubah lagi dan sejak saat itu bergarislah tabir bahwa pakiah Pono tidak bisa memiliki keturunan dari darahnya dagingnya sendiri karena alat kelaminnya sudah rusak.

Cukup lama pakiah Pono menderita sakit akibat cidera alat kelaminnya dan ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani kebutuhan santri dengan bijak, mengikuti dan menyimak alur pemerintahan kesultanan Aceh yang kelak sebagai bekalnya ikut masuk menata adat istiadat dikampung halamannya.

Hal inilah yang membuat Syeikh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.

Adapun Pembelajaran yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada pakiah Pono merupakan metoda baru yaitu dengan pendekatan tali bathin.

Tidak ada jarak antara santri dengan murid sehingga pelajaran yang diberikan melalui lisan dengan mudah dapat dipahami pakiah Pono apalagi cara belajarnya juga beda suasana dengan yang lain.

Dengan demikian pakiah Pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa di pahaminya.

Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa, apalagi diikuti dengan daya ingatnya yang tinggi membuat pakiah Pono termasuk murid yang terpandai di antara santri lainnya.

Tidak heran Syekh Abdur Rauf mencurahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya, dan pakiah Pono pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dimana kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik mungkin sehingga Ilmu syariat Islam yang bercabangkan fikih, tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits, ilmu taqwim (hisab) dan juga ilmu firasat dapat dia kuasai.

Suatu ketika pakiah Pono dibawa Syeikh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian menyuruh pakiah Pono membuka lembaran Kitab dan Syeikh Abdurrauf mengajarkannya sekali jalan dan kenyataannya seluruh isi dari kitab tersebut telah dikuasai oleh pakiah Pono.

Itulah metode pembelajaran baru yang yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada pakiah Pono yaitu dengan memberikan wejangan secara lisan terlebih dahulu kemudian baru membuktikannya dengan melihat isi kitab.

Dalam menuntut ilmu berbagai ujian berat di lalui pakiah Pono hingga akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna dimana syarat lulus pakiah Pono belajar dengan Syeikh Abdurrauf adalah Tajalli dengan Allah.

Man a’rafa Nafsahu

Fakad a’rafa Rabbahu,

Man a’rafa Rabbahu,

Fasaddal Jasadu

(Bila engkau mengenal dirimu

maka otomatis engkau mengenal Tuhanmu

Bila engkau mengenal Tuhanmu

Maka tiadalah berharga lagi kebendaan bagimu)

dan Ma’rifat ini didapatnya dengan berkhalwat mengkaji diri selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun.

Sepulang berkhalwat dan hendak menuju pondok pesantren pakiah Pono disuruh melihat ke langit maka berbagai fenomena alam tak sadarnya terpampang disana.

Syeikh Abdurrauf menyuruh pakiah Pono menceritakan apa yang terlihat olehnya untuk didengan santri lainnya.

Pakiah Pono menceritakan bahwa ketika dia melihat ke atas terlihat olehnya 7 lapisan langit dan diatasnya terdapat bentangan tupah berisi ayat-ayat Alqur’an tempat dimana Allah memerintah Malaikat Zibril membawa Alqur’an tersebut kepada Nabi Muhammad SAW.

Dan ketika dia melihat kebawah terlihat olehnya 7 lapis Pitalo bumi dengan segala isinya.

Kesemua penglihatan pakiah Pono dijabarkan oleh Syeikh Abdurrauf sehingga para santri yang lain bergetar hatinya dan mengakui betapa kerdilnya manusia itu dihadapan Allah. (Bersambung…)

(BJ)

  1. Baca :

Kisah Syeikh Burhanuddin dan Penyebaran Islam di Pariaman (1)

Kisah Syeikh Burhanudin Menggenal Agama Islam (2)

 

Pos terkait

Comment