Syeikh Burhanuddin Mula Mengenal Agama Islam (2)

  • Whatsapp
Herri Firmansyah Khalipah XV Syekh Burhanuddin foto bersama dengan Abdul Wahid Khalipah VII Syekh Kuala Abfur Rauf Singkili. Dipemakaman Syekh Abdur Rauf Kuala, Aceh.

Secara garis besar agama Islam telah masuk ke Pulau Perca (Asia) dan disebarkan di Aceh 300 tahun sebelum sipono lahir.

Namun, agama baru ini tidak bisa menyentuh sendi kehidupan daerah darek yang masih memeluk agama Hindu dan Budha yang kuat, namun ulama dari timur bisa menembus pedalaman Pakan Tuo batang Bangkaweh yang merupakan salah satu jalur perdagangan kala itu.

Bacaan Lainnya

Untuk membekali keterampilan hidup, setiap hari pekan Sipono selalu dibawa ayahnya pergi ke pasar Tuo Batang Bangkaweh, disini dia dipertemukan pada seorang gujarat yang disebut dengan “Illapai” untuk belajar berniaga.

Kiranya Illapai ini memasukkan fahamnya pada Sipono dan sipono tertarik untuk mendalaminya dan sejak saat itu bermulalah perjalanan hidup si Pono.

Suatu ketika Illapai menceritakan bahwa ada guru yang lebih pandai darinya di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari mekah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah. Sedang mengajarkan agama Islam.

Cerita ini menarik minat sipono maka diutarakanlah niat tersebut pada Ayahnya untuk belajar agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah.

Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya yang selalu di perolok-olok kan temannya karena pincang, maka niat tersebut dikabulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan usaha di daerah baru.

Berangkatlah keluarga ini 6 rombongan menyelusuri hutan mengiliri batang air melewati nagari Malalo (Singkarak) dan turun gunung sampai Nagari Asam Pulau dan terus mengiliri anak sungai Batang Anai sampai kenagari Sintuak Lubuk Aluang.

Di Sintuak, merupakan nagari yang pertama mereka tempati dan menetap di perantauan. Karena ditempat ini kehadirannya diterima, maka mulailah mereka menjalani kehidupan dengan menggembala kerbau.

Karena setiap hari kerjanya mengembala kerbau, diusianya yang kesebelas tahun maka sipono tidak banyak bergaul dengan orang lain Sehingga, dia bagaikan mengasingkan diri disamping setalian untuk menghindari cemoohan orang akan kondisi kakinya yang pincang.

Padang gembalaannya semakin hari semakin jauh dan tidak terbatas di Sintuk saja melainkan melebar sampai ke Tapakis yaitu daerah antara Sintuk dan Ulakan kini.

Dipengembalaannya di Tapakis sipono mendapat teman bermain orang ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris yang kelak diberi gelar Khatib Majolelo dan menjadi teman setianya ketika kembali dari Aceh dan menjadi tulang punggung dalam penyiaran Islam di Ulakan.

Dari si Idris inilah si pono banyak mendapat informasi tentang keberadaan Yah Yudi Syeikh Abdul Arif yang digelari Tuangku Madinah karena berasal dari Madinah Tanah Arab dan pada Syeikh ini, Sipono belajar agama Islam.

Pertemuan antara si pono dengan Tuangku Madinah ini sangat fenomenal dalam mamangan Tuan Guru Syathariyah merieayatkan pada muridnya karena ketika itu KERBAU si pono hilang dan sipono sudah hilir mudik mencari,

ketika dia melewati batang Ulakan di TAPAKIH si pono mendapati seorang tua yang sedang mengguyang guyangkan MANGGA KARAMBIE ( pelepah daun kelapa ) seperti memancing lalu sipono bertanya pada adalah orang tua tersebut

“wahai Pak Gaek nan ado di batang aie adokah mancaliak JAWI ambo lalu disiko tadi jawi ambo indak basuo saikue”.
Lain nan ditanya si pono lain pula jawaban orang tua tersebut.
“Wahai anak muda bersabarlah engkau sebentar, bila engkau sabar lebih dari kerbau mu yang hilang akan engkau dapatkan”. Ujar orang tua tersebut sambil mengguncang guncang pelepah daun kelapa.

Tidak lama kemudian orang tua tersebut mengangkat pelepah daun kelapa itu yang mana bentuk pelepahnya sudah tidak memiliki daun lagi yang ada hanya lidi lidi yang melekat di pelepahnya.

Kemustajabannya dan keanehan pada peristiwa itu adalah setiap lidi lidi tersebut terpancang ikan GARIANG yang besar besar dimana kondisi ikan tersebut sepertinya rela untuk tangkap.

Sipono tertegun terkagum kagum karena meski dia juga memiliki ilmu kepandaian tetapi kepandaian yang dimilikinya berasal dari olah diri dan olah pernafasan yang dalam ajaran hindu Budha disebut Cakradharma.
Kemustajaban karomah orang tua ini yang membuat semangat sipono untuk lebih banyak mengetahui tentang agama Islam.

Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama, maka dengan cepat si pono berhasil menguasai semua pelajaran yang diberikan Tuanku Madinah.

Dan pada suatu jumat gurunya menyuruh sipono untuk menjadi Imam dan memimpin guru serta teman teman seperguruannya shalat berjamaah, dia berhasil melaksanakan tugas tersebut tanpa cela sehingga hati syeikh Madinah senang dan mengajaknya berbicara serius dengan mengatakan bahwa ilmu yang dimilikinya belum lengkap untuk itu sipono hendaknya pergi berguru ke Aceh menemui Syeikh Abdurrauf di Singkil.

Sekaitan dengan berkembangnya ajaran Islam di Ulakan masyarakat mulai tidak menyenangi Sipono yang imbasnya juga terhadap keluarga Pampak keseluruhan, untuk itu inisiatif sipono pergi ke Aceh disetujui ayahnya agar bisa menghindari kemarahan masyarakat yang mulai main kasar.

Bahkan, ingin membunuh si pono karena ajaran islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi dan bersabung ayam.

Bagi orang tua kapergian sipono ke Aceh sama saja dengan kehilangan anak untuk selamanya. karena, Aceh itu jauh dan medannya sangat berat dan berbahaya sehingga kepergian sipono bagaikan pamit untuk mati yang tidak kembali lagi. (Bersambung)

Baca : Syeikh Burhanuddin dan Penyebaran Islam di Minangkabau

Pos terkait

Comment