OPINI. Mangrove bukan nama yang asing lagi bagi kita. Mangrove merupakan tanaman pepohonan yang tumbuh dan beradaptasi dengan tingkat salinitas yang tinggi dan hidupnya berada di pinggiran muara sungai, daerah pasang surut atau biasa disebut juga dengan zona intertidal, serta di pinggir laut.
Tumbuhan yang berada di wilayah pesisir ini sering juga disebut dengan bakau. Padahal istilah bakau ini merujuk pada nama dari salah satu keluarga Rhizophoracae.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, komposisi jenis mangrove yang berada di kawasan pesisir Tanjungpinang terdiri dari enam jenis mangrove yaitu Rhizophora sp., Bruguiera sp., Sonneratia sp., Avicennia sp., Ceriopps sp., dan Xylocarphus sp. dengan sebaran yang paling dominan ialah di kawasan muara sungai Dompak (Lestari, 2014).
Keberadaan mangrove di kawasan pesisir memiliki peranan yang sangat penting sebagai habitat fauna perikanan seperti tempat untuk berkembang biak dan juga sebagai habitat pertumbuhan bagi kepiting, kerang, gong-gong, dan ikan-ikan jenis lain nya.
Selain manfaat yang dapat dirasakan oleh ikan yang hidup disekitar ekosistem mangrove, manusia juga mendapatkan manfaatnya yaitu sebagai wilayah penangkapan ikan, sebagai tempat wisata, dan juga keberadaan mangrove dapat menahan abrasi pantai, karena mangrove memiliki akar-akar mangrove dapat mengikat tanah.
Mangrove di Indonesia telah mengalami eksploitasi sejak tahun 1800 khususnya untuk perikanan tambak dan pengambilan kayunya (Ilman et al., 2016) dan pada tahun 2018 Kemenko Maritim melalui laporannya menuliskan 1,82 juta hektar mangrove Indonesia berada di dalam keadaan kritis selama kurun waktu 2010 hingga 2015 dengan degradasi mangrove terjadi 260.859,32 ha.
Pada kenyataanya, mangrove yang berada di kawasan wilayah pesisir Kota Tanjungpinang terus mengalami kerusakan akibat adanya berbagai tekanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang kurang memperhatikan aspek keberlajutan mangrove.
Beberapa kawasan mangrove sudah mengalami kerusakan yang cukup memprihatinkan seperti di kawasan pulau Dompak yang mengubah fungsi lahan mangrove untuk pembangunan struktur dan infrastruktur pusat kota berupa jalan dan jembatan serta gedung-gedung.
Pada kawasan mangrove yang lain juga terjadi kerusakan akibat adanya kegiatan penambangan bauksit pada ekosistem mangrove.
Pemanfaatan mangrove untuk pembangunan tidak boleh terlepas dari 3 unsur yaitu unsur sosial, ekonomi, dan ekologis.
Pembangunan saat ini lebih melihat satu unsur saja yaitu sosial, dengan kemudahan-kemudahan akses seperti jalan dan jembatan, namun belum melirik unsur ekonomi dan ekologis.
Hal ini didasari oleh peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan, sehingga kebutuhan juga semakin tinggi.
Pada akhirnya dapat memicu peningkatan alih fungsi lahan, alih fungsi tersebut tidak dapat terelakkan lagi, karena wilayah Kota Tanjungpinang yang memiliki karakteristik kawasan pulau-pulau kecil, alih fungsi lahan ini dijadikan masyarakat untuk pemukiman, kawasan industri, serta sarana dan prasarana untuk memudahkan aktivitas masyarakat.
Akibat yang dapat ditimbulkan dari adanya kegiatan alih fungsi lahan mangrove ini dapat mengakibatkan jumlah penurunan populasi ikan-ikan yang hidup di kawasan ekosistem mangrove, sehingga menyebabkan hasil tangkapan nelayan juga berkurang.
Selain itu kerusakan dan kehilangan mangrove juga dapat memicu pelepasan gas-gas rumah kaca,seperti karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4). Artinya, kerusakan mangrove dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi karbon dioksida.
Sudah ada beberapa upaya yang dilakukan untuk menjaga keberadaan mangrove seperti rehabilitasi dengan melakukan penanaman mangrove.
Namun hal ini tidak akan memiliki dampak yang besar untuk memperbaiki keberadaan ekosistem mangrove tanpa kurangnya pembangunan yang melihat unsur ekologis,saat ini hanya terdapat di beberapa negara dan daerah di Indonesia yang memiliki pembangunan berbasis ekologis.
Salah satu pemanfaatan mangrove yang telah dilakukan di Tanjungpinang ialah wisata hutan mangrove Sei Carang, namun sayang saat ini wisata tersebut hanya menyisakan papan-papan yang tidak layak lagi untuk dikunjungi karena wisata ini sudah tidak lagi beroperasi.
Padahal Kota Tanjungpinang memiliki potensi ekowisata mangrove yang cukup tinggi, karena memiliki keberagaman jenis mangrove yang cukup banyak.
Saat ini ekowisata mangrove banyak dilirik oleh turis-turis lokal maupun manca negara. Kegiatan ekowisata ini apabila mampu dikelola secara serius mampu meningkatkan perekonimian masyarakat serta mampu meningkatkan pendapatan daerah.
Saat ini sudah banyak contoh ekowisata yang telah ada seperti ekowisata mangrove di Kota Surabaya dan tetangga satu daratan kita yaitu Kabupaten Bintan.
Hal ini bukanlah tidak mungkin daerah kita tercinta ini menjadi salah satu daerah yang memiliki ekowisata mangrove yang dikenal oleh negara lain.
Manfaat dari adanya mangrove ini selain mampu menjaga bumi ini ternyata juga mendapatkan nilai ekonomis yang jauh lebih baik daripada sekedar pemanfaatan kayu pohon mangrove, karena alam ini bukanlah sebuah warisan yang dititipkan kepada kita yang hidup saat ini namun alam ini dipinjamkan oleh terdahulu kita untuk kita jaga dan selanjutnya kita akan menitipkan alam ini kepada generasi selanjutnya dengan kadar yang sama seperti pertama kali kita dipinjamkan oleh terdahulu kita.
Penulis : Yudhistira Adhitama Putra, Ketua HIMA Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, UMRAH.
Comment