Oleh: RAMDAN
Mahasiswa STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang-Kepulauan Riau
Kota Tanjungpinang, sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, memiliki posisi strategis dalam peta pembangunan wilayah Indonesia bagian barat. Terletak di perlintasan perdagangan internasional dan dikelilingi oleh wilayah pesisir, Tanjungpinang memiliki potensi besar untuk tumbuh menjadi kota yang maju, inklusif, dan berdaya saing. Namun, harapan besar ini kini dihadapkan pada kenyataan pahit: keterbatasan fiskal dan defisit anggaran yang menekan ruang gerak pembangunan kota.
Defisit anggaran adalah kondisi ketika pengeluaran pemerintah daerah melebihi pendapatan yang dimiliki. Dalam konteks Tanjungpinang, situasi ini disebabkan oleh beberapa faktor: penurunan pendapatan asli daerah (PAD), ketergantungan yang tinggi pada dana transfer pusat, dan beban belanja rutin yang terus meningkat. Situasi ini diperparah oleh perlambatan ekonomi global dan nasional yang turut mempengaruhi aktivitas ekonomi lokal, terutama sektor perdagangan dan pariwisata yang menjadi tumpuan utama Tanjungpinang.
Salah satu tantangan mendasar dalam menghadapi defisit anggaran adalah bagaimana pemerintah kota menata ulang struktur belanjanya. Belanja rutin seperti gaji pegawai dan operasional kantor sering kali menghabiskan porsi besar APBD, meninggalkan ruang yang sangat kecil untuk belanja pembangunan. Padahal, kebutuhan untuk membangun infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, pengelolaan sampah, serta perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan semakin mendesak.
Kelemahan dalam perencanaan dan penganggaran juga menjadi sorotan. Tidak sedikit proyek pembangunan yang masih menggunakan pendekatan konvensional, tanpa analisis kebutuhan yang berbasis data. Hal ini menyebabkan anggaran kerap digunakan untuk kegiatan yang tidak mendesak atau tidak berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.
Keterbatasan anggaran tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi. Justru dalam kondisi seperti ini, kreativitas dan inovasi harus menjadi kunci utama. Pemerintah kota bisa menjalin kerja sama dengan pihak swasta, BUMN, dan lembaga donor melalui skema public-private partnership (PPP) dalam membiayai proyek-proyek strategis.
Selain itu, pendekatan berbasis komunitas (community-based development) juga layak dikembangkan. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak hanya mengurangi beban anggaran pemerintah, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab warga terhadap hasil pembangunan.
Pemerintah juga dapat mengoptimalkan aset daerah yang selama ini belum produktif. Aset-aset seperti lahan kosong, gedung tidak terpakai, atau fasilitas umum yang belum dimanfaatkan maksimal bisa diolah menjadi sumber pendapatan baru melalui kerja sama investasi.
Dalam situasi defisit, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi sangat penting. Tanpa transparansi dalam pengelolaan anggaran dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, setiap kebijakan akan mudah dipertanyakan legitimasinya. Oleh karena itu, penguatan mekanisme pengawasan, baik melalui DPRD maupun lembaga masyarakat sipil, harus terus didorong.
Pelibatan generasi muda, akademisi, tokoh masyarakat, dan pelaku usaha lokal dalam forum-forum musyawarah pembangunan bisa menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat.
Membangun kota di tengah defisit bukan sekadar urusan menambal kekurangan dana, tetapi tentang menyusun ulang cara berpikir dan bertindak. Ini adalah saatnya pemerintah kota dan seluruh elemen masyarakat Tanjungpinang bertransformasi dari budaya birokrasi ke budaya inovasi, dari ketergantungan ke kemandirian.
Meskipun tantangannya besar, peluang untuk bangkit tetap ada. Dengan tata kelola yang baik, pengelolaan sumber daya yang efisien, serta komitmen bersama untuk mewujudkan kota yang lebih layak huni dan sejahtera, Tanjungpinang bisa menjadikan masa sulit ini sebagai batu loncatan menuju perubahan yang lebih baik.*
Comment