Nggak Cuma KPR, Kenali 4 Jenis Pinjaman Bank Sebelum Beli Rumah

  • Whatsapp
Ilustrasi (Foto: Net)

BAROMETERRAKYAT.COM, JAKARTA. Menentukan skema pembayaran saat akan membeli properti merupakan tahapan yang krusial.

Skema pembayaran umumnya meliputi tiga jenis yakni KPR/KPA, tunai keras, dan tunai bertahap.

Dari ketiganya, KPR/KPA sudah tak asing di telinga, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui jenis pinjaman lain yang ditawarkan bank.

Ahli Properti dan Pembiayaan Pinhome Vina Yenastri mengatakan sedikitnya ada empat jenis pinjaman yang ditawarkan bank dengan jaminan sertifikat properti yaitu KPR/KPA, kredit multi guna (refinancing), KPR take over, dan KPR top-up.

Pertama, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan metode pembayaran cicilan ke bank di mana sebelumnya pihak bank membayar pelunasan rumah atau apartemen kepada pengembang atau penjual.

“Konsepnya secara singkat, bank menalangi kita untuk beli rumah. Alurnya, kita membeli rumah dengan meminta bantuan bank untuk melunasi rumah yang kita beli. Kemudian biaya pelunasan tersebut kita bayar kembali ke pihak bank dalam bentuk cicilan,” terang Vina dalam webinar ‘Bahas Tuntas Properti’ Property Academy by Pinhome.

Kedua, kredit multiguna. Jenis kredit ini disediakan bank untuk membiayai berbagai keperluan konsumtif dengan jaminan berupa sertifikat properti yang sudah balik nama.

“(Di metode ini) sertifikat propertinya sudah harus atas nama debitur atau pasangan debiturnya. Jadi, sertifikat properti yang diberikan sifatnya sudah menjadi milik kita. Sertifikat ini kemudian dapat kita bawa ke bank untuk pengajuan refinancing. Alurnya sama seperti KPR, bedanya bebas biaya pajak saja,” imbuhnya.

Kemudian ada juga KPR take over, yakni pemindahan fasilitas kredit sejenis dari satu bank ke bank lainnya.

Dalam skema atau metode pembayaran ini, perlu diketahui bahwa ada masa fix dan floating. Pada masa fix, bunga yang diberikan bersifat tetap sehingga jumlah cicilan yang dibayarkan pun tetap.

Sedangkan pada masa floating terdapat kecenderungan peningkatan bunga cicilan, sehingga debitur seringkali mencari jalan agar cicilan yang dibayarkan tidak membengkak terlalu parah.

“Misalnya, si A melakukan KPR di bank B dan sudah berjalan lima tahun atau sudah lewat masa fix. Biasanya banyak nasabah yang masa fix-nya sudah selesai, pas mau masuk masa floating, dia pindah ke bank lain dengan promo atau program bunga yang berlaku di bank tersebut pada saat itu. Asumsinya, dengan pindah bank ia akan mendapatkan bunga yang lebih rendah dibandingkan stay dengan bunga floating di bank sebelumnya,” jelas Vina.

Jenis pinjaman terakhir adalah KPR top up, yakni penambahan limit atas fasilitas kredit yang telah berjalan (existing).

“Kalau misalkan dia mau take over rumahnya itu kan akan di-appraisal lagi, nah plafon dia di awal Rp1 M. Pas mau take over, outstanding sisa Rp 500 juta. nah, dia take over ke bank B rumahnya akan di-appraisal lagi. Kalau harga appraisal-nya naik misalkan jadi Rp1,5 M atau Rp1,2 M, berarti dia top up-nya bisa lebih dari plafon awalnya. Atau kalau dia mau take over top-up dengan mengembalikan seperti plafon kreditnya pertama kali juga bisa. Tapi tetap lihat dari appraisal rumahnya dan lihat income-nya lagi. Kalau misalnya masuk kriterianya, dia bisa nambah top up-nya. Jadi sesuai nominal yang dia mau, ” terang Vina.

“Atau yang kedua, top up-nya adalah kita udah punya KPR di bank tersebut dan outstanding-nya udah turun, lalu mengajukan tambahan lagi atau refinancing. Itu juga dinamakan top-up. Jadi satu jaminan atau satu rumah ada dua fasilitas yaitu KPR dan top-up,” pungkas Vina.

Redaksi

Pos terkait

Comment