Menurutnya, kategorisasi kekerasan seksual yang disusun Kemendikbudristek berpedoman pada nilai dan norma agama, adat, dan budaya Indonesia. Sehingga bukan hanya berdasarkan pada kesepakatan dua pihak.
“Nah, sebaliknya jika dilakukan dengan persetujuan korban, dilakukan dengan dalih suka sama suka, berarti tidak merupakan kekerasan seksual. Perbuatan ini dengan atau tanpa persetujuan korban tetap salah dan tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang luhur serta budaya luhur bangsa kita,” tuturnya.
Selain itu, Sakinah juga mempertanyakan fungsi Satuan Tugas (Satgas) yang diusulkan dalam Permendikbudristek.
Ia khawatir pembentukan Satgas yang bertujuan untuk menangani kekerasan seksual di kampus akan menambah daftar panjang tugas perguruan tinggi.
“Harus dibentuknya Satuan Tugas dan pelaksanaan pelatihan serta menyediakan akomodasi serta sarana prasarana pendukung seperti rumah aman justru menambah beban baru bagi kampus maupun sivitas perguruan tinggi,” ujar dia.
“Semakin menumpuk tugas yang dibebankan perguruan tinggi dikhawatirkan berimbas pada tidak fokusnya perguruan tinggi menjalankan tugas pokoknya yaitu pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kalau tidak fokus, maka tidak akan tercapai tujuan utama perguruan tinggi tersebut,” lanjutnya.
Ia mendorong Kemendikbudristek mencegah kekerasan seksual yang kerap terjadi di perguruan tinggi. Namun, hal tersebut perlu dicapai melalui aturan yang benar.
“Kita sepakat perbuatan zina dan penyimpangan LGBT harus diberantas guna melahirkan generasi yang bermartabat, menjaga moral bangsa, namun dengan peraturan dan muatan yang benar sesuai dengan kaidah perundang-undangan, agama, dan norma bangsa yang luhur,” pungkasnya.
Redaksi | CNN | Kumparan
Comment