BAROMETERRAKYAT.COM, Tanjungpinang. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang menolak Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap Februari.
Ketua AJI Tanjungpinang Jailani mengatakan, AJI bukan bagian dari organisasi yang terjebak dalam euforia HPN.
“Bagi kami HPN ada makna lain, yakni Hari Prabangsa Nasional (HPN). Ia jurnalis Radar Bali yang dibunuh pada 2009 lalu, karena mengungkap kasus korupsi,” ujar Jailani usai Dialog di Kantor RRI Tanjungpinang.
Menurut, pemberian remisi oleh Presiden dari hukuman seumur hidup menjadi hukum pidana sementara pada Susrama adalah langkah mundur bagi kemardekaan pers di Indonesia.
Sementara, barisan lain yang juga bernama wartawan justeru merayakan HPN dengan berpesta pora bersama dengan pemberi remisi.
“Tanpa pernah berpikir, bagaimana kasus-kasus terhadap sejumlah jurnalis yang dibunuh karena berita. Padahal kasus-kasus tersebut belum tuntas sampai detik ini,” tegas Jailani.
Ditegaskannya juga, AJI bukanlah organisasi profesi yang menjadi penikmat APBD dan APBN. Atas dasar itu, AJI selalu konsisten menolak yang namanya HPN.
Dia menilai, HPN adalah upaya Pemerintah untuk melemahkan pers sebagai pilar demokrasi yang keempat.
Yakni, ketika daya kritis jurnalis sudah dilumpuhkan, maka kebebasan pers akan semakin terkekang.
“Pers sudah seharusnya berdiri secara independen. Kegiatan HPN sudah pasti selalu menyedot anggaran APBD dan APBN. Sementara output dari HPN tersebut tidak pernah jelas, yang ada hanya sebatas ceremonial saja,” ujarnya.
Dia menjelaskan, sebagian masyarakat pers Indonesia memperingati tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, meski sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Setelah Seoharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi.
Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Sejumlah regulasi Orde Baru dibidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya Undang Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru.
Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers.
Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada tahun 1999.
Namun, salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers yang masih dipertahankan hingga kini adalah peringatan HPN, meski rujukannya sudah tak ada lagi.
HPN menggunakan rujukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Regulasi itu sudah direvisi tahun 1982 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982. Undang-undang tersebut tak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nonor 40 tahun 1999.
Perkembangan itulah yang memicu lahirnya ide untuk merevisi Hari Pers Nasional. Selain karena memakai hari kelahiran satu organisasi wartawan, pelaksanaannya juga tak banyak berubah dari pelaksanaan semasa Orde Baru.
Antara lain, pelaksanaannya memakan dana APBN dan APBD cukup besar. Tema dan kegiatan yang dipilih juga seringkali tidak menjawab masalah pers kontemporer.
“Pemikiran-pemikiran inilah yang membuat AJI menolak adanya HPN,” tutup Jailani.
Redaksi | Rls
Comment