Upaya Penyelesaian Konflik Industrial PT. Timah (Persero) TBK Unit Kundur

  • Whatsapp

Oleh: Muris Fandi

Karimun, (BR) – Lebih dari sepuluh tahun setelah era kebebasan berserikat dimulai, maka gerakan buruh di Indonesia dilukiskan sebagai gerakan yang tercerai berai dan tidak mampu menggunakan kebebasannya untuk membangun kekuatan politik yang diperhitungkan.Hal ini dapat dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan misalnya, meski pun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relative rendah dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai. Apalagi jika dilihat lebih lanjut, adanya lembur paksa, pengebirian peranserikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) serta ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang akhiri-akhir ini selalu membayangi kehidupan buruh.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sepertinya tidak pernah berhenti bahkan penanganan dari masalah yang satu kemasalah yang lain pun tidak pernah membuahkan hasil yang maksimal. Belum tuntas kisruh dan ketidak berpihakan pemerintah terhadap buruh dalam masalah outsourcing dan karyawan kontrak, kini (Oktober 2008) pemerintah kembali membuat kebijakan yang dinilai banyak pihak terutama kaum buruh sangat tidak berpihak dan merugikan pekerja. Dengan kebijakan yang baru ini, pemerintah terkesan lebih senang “menyelamatkan” para pengusahadari pada rakyat kecil.Sementara tujuan pembangunan adalah terwujudnya kesejahteraan social.

Kebijakan baru itu adalah lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yaitu “Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global” yang berisi tentang aturan baru mengenai upah minimum buruh.Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah lebih berpihak pada para investor (pengusaha) dari pada buruh yang notabene adalah rakyatkecil, sebab dalam SKB disebutkan bahwa penetapan upah tidak lagi melibatkan pemerintah, melainkan negosiasi langsung antara pengusaha dan buruh (bipartit).Jika SKB tersebut benar-benar dilaksanakan, maka penetapan upah dilimpahkan dan ditentukan oleh kehendak pasar (bipartit) dan berdasar atas kesepakatan bilateral antara pengusaha dan serikat pekerja, akibatnya akan membuat daya jualbeli masyarakat justru semakin menurun. Pemerintah tidak lagi “ikutcampur” dalam negosiasi UMR (UMP/K) terutama dalam masa krisis global.Tujuan SKB ini adalah untuk mencegah dampak krisis finansial terhadap sektor-sektor riil, terutama untuk mencegah terjadinya PHK.Padahal ada atau tidak adanya SKB, pengusaha kapan pun dapat melakukan PHK terhadap buruhnya.

Selama ini UMR (UMP/K) telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan upah minimum harus sesuai biaya kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan oleh berbagai unsur termasuk di dalamnya adalah pemerintah, pengusaha dan buruh. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, maka jaminan dan penegakan hak-hak buruh dilakukan oleh negara.Negara-lah yang seharusnya menjalankan peran pengawasan dan menjadi ujung tombak untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran hak-hak buruh dan harus mengambil tindakan tegas menghadapi para pelanggar hak-hak buruh.

Kondisi semacam itu menunjukkan rendahnya posisi tawar buruh/pekerja, apalagi jika krisis terus meningkat dan tak kunjung tertangani akibatnya adalah pekerja (buruh) semakin tidak berdaya dan semakin menyadari benar posisinya yang serba sulit. Salah satu penyebabnya adalah adanya asumsi bahwa di pasar tenaga kerja terjadi penawaran tenaga kerja (supply) akibat melimpahnya jumlah pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar yang melebihi permintaan (demand), dan titik-titik lemah ini lah yang seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerja/buruh pasrah menerima nasib, menerima upah yang tak pernah bergerak ketaraf yang diklasifikasikan layak dan adil, sehingga pengusaha mempunyai kekuatan untu kmenekan upah (pressure). Kondisi seperti ini, mengakibatkan kekuatan tawar pekerja/buruh (bargainning-power) semakin kecil.

Dengan kondisi yang tertekan ini maka timbul kesadaran pekerja akan hak-haknya, sehingga muncul dorongan untuk melakukan unjuk rasa sebagai pengungkapan kekuatan akan keberadaannya. Bertambahnya pengetahuan tentang UMP/K, buruh semakin sadar dan beranggapan bahwa upah yang diterima belum memenuhi standar.

Situasi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini, persaingan untuk menarik investor dengan beberapa negara lain menjadi sangat ketat, masing-masing negara berusaha keras untuk menawarkan iklim investasi yang kondusif dan kompetitif. Di Indonesia cara yang dianggap menarik bagi para investor untuk menanamkan modalnya adalah dengan menawarkan upah buruh yang relative rendah. Selain itu negara juga membatasi ruang gerak dan hak pekerja untuk berpartisipasi secara politik serta melakukan demonstrasi yang semestinya menjadi hak pekerja, sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Sebaliknya, para investor atau pemilik modal pun dalam menjalankan usahanya tidak mau dirugikan dengan berbagai biaya yang telah mereka keluarkan.Tidak mengherankan lagi, jika pengusaha selalu memperhitungkan biaya yang dikeluarkan tersebut kedalam penghitungan harga jual produk sehingga harga menjadi lebih tinggi, artinya beban pengusaha kemudian dialihkan pada konsumen. Cara lain yang tidak pernah ditinggalkan oleh pengusaha adalah memindahkan beban biaya produksi tersebut pada buruh atau pekerja. Bagi pemilik modal atau investor, upah buruh merupakan biaya produksi yang paling lentur, sehingga jauh lebih mudah menekan upah buruh atau dengan mempertahankan upah tetap rendah dari pada harus berhadapan dengan kekuatan birokrasi dan pasar.Jika alternative kedua yang diambil, maka lagi-lagi buruh yang harus menanggung beban pengusaha.

Sebagai akibatnya, kehidupan buruh tidak sejalan dengan laju produksi pabrik, dan kemudian melahirkan pertanyaan, mengapa prestasi produksi, kerja keras buruh dan sejumlah pengorbanan lain yang telah dikeluarkan tidak pernah membawa perbaikan kualitas kehidupan bagi buruh? Bahkan tuntutan perbaikan hidup buruh pun tidak pernah dipenuhi jika aksi buruh tidak dilakukan secara bersama dan besar-besaran (kolektif). Sebagai konsekuensinya konflik pun tidak pernah terelakkan. Sampai saat ini, pengorbanan tetap saja melekat di kalangan buruh yaitu dengan menerima upah yang rendah dan dieksploitasi dengan dalih sebagai keunggulan komparatif agar investasi masuk ke Indonesia. Hanya saja, pemerintah dan pengusaha tidak pernah menyadari bahwa pekerja (buruh) sebenarnya telah berjasa besar untuk mencapai sukses ekonomi secara makro.

Seperti permasalahan yang ada di PT Timah (Persero) tbk Unit Kundur, Karimun.Para buruh yang bergabung pada asosiasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Cabang Kabupaten Karimun ini menilai hak-hak mereka sudah dikekangi dan menilai perusahaan tempa tmereka bekerja sudah melanggar Pasal 59 sampai 66 UU no 13 tahun 2003 tentang TenagaKerja.Karena para buruh yang bekerja tidak menerima THR, BPJS atau tunjangan hari tua.Dan selain berlakunya out sourching atau pemutusan kontrak kerja pihak PT tidak memperioritaskan anak di daerah itu sendiri,menurut salah seorang karyawan dari PT Timah tersebut.
Seharusnya PT Timah dalam menerima karyawan lebih mengutamakan anak-anak daerah yang menjadi perioritas utama dalam bekerja dan tidak ada out sourching. Sebagai perusahaaan BUMN juga diharapkan PT Timah dapat menjadi contoh atau panutan bagi perusahaan-perusahaan yang ada di Karimun, jelas Ketua F-SPSI Karimun Hanis Jasni.

Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa konflik industrial umumnya, dan masalah perburuhan khususnya benar-benar merupakan permasalahan bukan hanya bagi buruh tetapi juga masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dahrendorf berpendapat bahwa, konflik hadir dalam masyarakat dan konteks wilayah sosial (social field) yang mana ada hubungan-hubungan sosial khusus seperti arena sosial pertentanggaan, arena sosial sekolah, arena sosial perkantoran, dan arena sosial industri. Dalam kaitannya dengan konflik dalam konteks wilayah sosial industri, Ralf Dahrendorf melalui buku fenomenalnya mengenai Conflict and Industrial Conflict (1959) memperlihatkan bagaimana konflik industrial terbangun melalui proses dari ketidakpuasan individual buruh, menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak teroganisir, dan sampai pada tingkat pengorganisasian ketidakpuasan kolektif buruh dalam rangka perjuangan untuk mencapai tujuan.

Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena terletak pada posisi, bukan dalam diri orangnya, sehingga seseorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu tidak harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain, begitu pula orang yang menempati posisi subordinat dalam suatu kelompok belum tentu subordinat pada kelompok lain. Pendapat ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang disebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative atau dikenal dengan ICAs (Imperatively Coordinated Associations).

Akar masalah konflik (the root causes of conflict) bisa dikatakan sebagai sebab yang paling mendasar dari munculnya hubungan-hubungan konflik dan dinamika yang dikarakteri oleh berbagai bentuk strategi konflik. Perspektif sosiologidalam konflikini memiliki pandangan bahwa akar masalah konflik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) dan angka kepentingan di dalamnya (Rubenstein, 1996). Kekuasaan secara sosiologis dimanifestasikan pada bentuk wewenang legal formal, dan modal-modal ekonomi dan budaya. Walaupun demikian dalam konteks konflik industrial, kekuasaan lebih didefiniskan oleh wewenang leghal formal negara dan modal ekonomi pasar. Kekuasaan legal formal negara yang mampu menciptakan regulasi bekerjasama dengan kekuasaan ekonomi pasar yang bisa menentukankeberhasilan ekonomi suatu negara.***

Pos terkait

Comment