Habitat Para Penyalur Sexsualitas Dan Penanggulangannya

  • Whatsapp

Penulis: TRI Wahyu Widodo. Mahasiswa STISIPOL RAJA HAJI TANJUNGPINANG
Penulis: TRI Wahyu Widodo.
Mahasiswa STISIPOL RAJA HAJI TANJUNGPINANG
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Yaitu dimana tempat habitat para seksualitas disebut dengan Lokalisasi.

Tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa.

Prostitusi (pelacuran) berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, malakukan persundalan, pergundikan. Sedang prostitue adalah pelacur, dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila. Tuna susila atau tindak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan seksual, dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya.

Intinya lokalisasi yang ada Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum.

Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Resiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat dan penyebaran Penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS yang merupakan resiko umum dari seks bebas.

Pandangan masyarakat Indonesia, prostitusi atau pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun dibutuhkan.

Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan yang baik-baik.

Pandangan yang negatif terhadap pelacur seringkali didasarkan pada standar ganda, karena umumnya para pelanggannya tidak dikenai stigma demikian.

Pelacuran dalam Agama Islam juga disebut dengan zina, zina termasuk perbuatan dosa besar. Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut adalah kotor dan keji. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32 Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan lainnya”. (lihat tafsir Kalaam Al-Mannan: 4/275).

Pandangan menurut Etika
memberi tinjauan etis terhadap masalah lokalisasi dari beberapa cara pandang etika yang pertama Etika Deontologis, yang kedua,Etika Teleologis ,  kemudian yang ketiga Etika Kontekstual , dan keempat Kajian Teologi .

Dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang. Itulah sebabnya kenapa wanita selalu ada saja yang mengumpulkan dalam suatu tempat dan berusaha “dijual” kepada siapa saja yang membutuhkan “jasa sesaat”nya. Lelaki, meskipun ada yang menjual dirinya, tapi jarang ditemukan dikumpulkan dalam suatu tempat seperti halnya wanita; atau jika ada pun, umumnya para lelaki tersebut berubah wujud menjadi wanita agar diakui keindahannya yang dengan mudahnya untuk menentukan tarif yang dikehendaki oleh penjajah tubuh yang indah tersebut.

Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor utama yaitu “faktor internal” dan “faktor eksternal”. Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya.

Prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dapat dilihat dari segi sosiologis, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat, Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi, Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita, Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja, Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya, Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan criminal, Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.

Penulis melihat peran pemerintah dalam menanggapi lokalisasi tersebut, Sebenarnya pemerintah telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan razia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi.

Nah penulis juga mempunyai harapan Upaya-upaya yang harus dilakukan Pemerintah dalam  penanggulangan prostitusi agar lokalisasi tidak menjadi trend tongkrongan para masyarakat, upaya yang pertama dilakukan  Melarang dengan undang-undang, diikuti oleh razia-razia/penangkapan, kemudian Dengan pencatatan dan pengawasan kesehatannya, lalu para PSK Ditampung di tempat-tempat jauh di luar kota dengan pengawasan dan perawatan serta diberikan penerangan-penerangan agama atau pendidikan. juga diadakan larangan-larangan terhadap anak-anak muda yang mengunjungi tempat tersebut, kemudian Rehabilitasi dalam asrama-asrama dimana para pelacur yang tertangkap diseleksi, yang dianggap masih dapat diperbaiki ditampung dalam asrama, mereka dididik dalam keterampilan, agama dan lain-lain dipersiapkan untuk dapat kembali ke masyarakat sebagai warga yang baik kembali.

Setelah dari pekerja wanita seks komersialnya tentu dari pihak pembeli ikut dibersihkan juga, yaitu sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar.

Hal ini persis seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.

Jika ditinjau lebih dalam, mudharat (keburukan) yang ditimbulkan dari lokalisasi tentu sangat besar dibandingkan keuntungannya yang hanya untuk menyeimbangkan kondisi ekonomi pelaku prostitusi dan penyaluran hasrat kaum lelaki hidung belang. Prostitusi jelas sudah melanggar semua norma yang berlaku di masyarakat. Juga sangat hina di hadapan Tuhan dan manusia pada umumnya. Selain itu juga penyakit-penyakit berbahaya dan tindak kriminal lainnya yang akan timbul akibat prostitusi ini.

Sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah prostitusi dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan razia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu belum efektif menekan perkembangan prostitusi di Indonesia. Apapun bentuknya, dalam lokalisasi prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Pendekatan melalui sosial dan agama bisa dilakukan untuk memperkecil tingkat prostitusi di Indonesia .

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor  yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.

Masyarakat bila digerakkan dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan atau minimal meminimalisir prilaku prostitusi di lingkungannya. Misalnya dilakukan dengan cara pendekatan-pendekatan kemanusiaan, sosial dan agama.***

Pos terkait

Comment